KAIN SONGKE merupakan
kain tenun khas daerah manggarai, Kain tenun songke juga biasa di sebut lipa
atau towe. Towe atau lipa dalam bahasa setempat di kenakan oleh laki -
laki dan perempuan, baik di rumah maupun saat menghadiri ritual adat, ke
gereja, ketika mandi dan tidur, saat kelahiran dan pernikahan, dan untuk
membungkus orang yang telah meninggal.
Songke juga bisa
menjadi pemberian saat acara masuk minta(lipa widang) dari orang tua kepada
bakal keluarga baru. Dan dari fungsinya Lipa Songke kerap kali dianggap sebagai
“wengko weki,” yang melindungi tubuh. Boleh dibilang, Songke itu menjadi jejak
budaya Orang Manggarai.
Saat ini, di kota-kota pusat administrasi wilayah Manggarai Raya seperti Ruteng, Borong dan Labuan Bajo, para pegawai pemerintah diwajibkan mengenakan Songke dalam bentuk jas atau kemeja sebagai salah satu usaha menghargai dan melestarikan tenun dan motif etnik setempat
Sejarah Kain Songke Manggarai
Kesultanan Goa
pernah berjaya di daratan Flores pada sekitar tahun 1613–1640. Dan sekitar
tahun 1666, orang-orang Makasar, Sultan Goa, tidak hanya mendiami Flores bagian
Barat, tetapi juga seluruh Manggarai Raya. Pengaruh Goa nampak diantaranya pada
budaya baju bodo dan pengistilahan Dewa Tertinggi “Mori Kraeng”. Dalam
peristilahan harian, kata Kraeng dikenakan bagi para ningrat. Istilah tersebut
mengingatkan gelar Kraeng atau Daeng dari gelar kebangsawanan di Sulawesi
Selatan. Selain orang-orang Makasar, pun berdasarkan kisah sejarah, pada tahun
1722, Sultan Goa menyerahkan wilayah Manggarai kepada Sultan Bima sebagai mas
kawin.
Perjumpaan
dengan beragam kepentingan-kultur-kebiasaan baik dengan orang-orang Bajo, Bugis
maupun Bima, melahirkan sesuatu yang baru pula untuk kesenian Manggarai. Buah
perjumpaan itu yang tidak hanya perihal kepentingan-kepentingan social dan
politik, tetapi juga budaya dan kebiasaan termasuk di dalamnya adalah bagaimana
berbusana: pilihan motif dan corak serta tata busanya itu sendiri.
Filosofi
Warna dasar dari kain
songke adalah hitam. Warna hitam merupakan kebesaran/keagungan orang Manggarai.
Warna dasar hitam melambangkan kepasrahan karena kesadaran
bahwa semua manusia
pada akhirnya meninggal (simbol sikap tanatos yaitu bahwa kehidupan adalah
prosesi dari Allah menuju Allah). Nilai yang terpancar dari warna dasar hitam
adalah nilai religius yakni simbol kepasrahan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
memiliki kesadaran bahwa semua manusia pada akhirnya meninggalkan dunia fana
ini
1. Motif Jok
Jok adalah motif
dasar yang unik sebagai salah satu jati diri orang Manggarai. Jok melambangkan
persatuan baik, persatuan menuju Allah (Mori Jari Dedek) penguasa alam semesta,
maupun persatuan dengan sesama manusia dengan alam sekitarnya. Jok erat dengan
bentuk rumah adat dan model “Lodok Langang” kebun komunal (bagian dalam lingko).
2. Motif “Wela Kaweng”
Motif ini bermakna
interdepensi antara manusia dan alam sekitarnya. Tumbuhan “Kaweng” baik daunnya
maupun bunganya untuk dijadikanbahan pengobatan luka dari hewan piaraan/ternak.
Motif ini mengajarkan kita bahwa alam flora menunjang kehidupan manusia baik
sebagai makanan dan perumahan maupun untuk pengobatan; oleh karena itu,
lestarikan alam lingkungan.
3. Bunga songke bermotif “Ranggong”
(Laba-laba)
Laba-laba tekun
membuat jaringan/sarang, motif ini bersimbol “kejujuran dan kerja
keras/cermat”. Diyakini dan disadari, bahwa laba-laba tidak pernah mencuri atau
cari gampang seperti tikus, curi sana sini. Melalui motif Ranggong yang syarat
makna ini, orang Manggarai selalu diingatkan untuk senantiasa bekerja
keras/cermat dan jujur, sehngga beroleh rezeki dari ketekunan bekerja keras
secara cermat dan jujur. Hanya dengan kejujuran orang hidup tenang, tidak
diburu seperti tikus.
4. Motif “Su’i” (garis-garis batas)
Melambangkan
keberakhiran segala sesuatu; bahwa segala sesuatu ada akhirnya dan ada batasnya.
5. Motif “Ntala” (Bintang)
Motif “Ntala”
terkait erat dengan harapan yang sering dikumandangkan dalam ”tudak” / ”idik”
(doa) yaitu “porong langkas haeng ntala” (supaya senantiasa tinggi sampai di
bintang). Maksudnya supaya senantiasa sehat, umur panjang, dan memiliki
ketinggian pengaruh lebih dari orang lain dalam hal membawa terang perubahan.
6. Motif “Wela Runu” (Bunga Runu)
Melambangkan sikap ethos, bahwa orang Manggarai sebagai
bunga kedil tetapi indah dan memberi hidup, dan ia hidup di tengah kefana’an.