Selasa, 26 Januari 2016

Kain Songke, Manggarai -NTT

KAIN SONGKE merupakan kain tenun khas daerah manggarai, Kain tenun songke juga biasa di sebut lipa atau towe. Towe atau lipa dalam bahasa setempat di kenakan oleh   laki - laki dan perempuan, baik di rumah maupun saat menghadiri ritual adat, ke gereja, ketika mandi dan tidur, saat kelahiran dan pernikahan, dan untuk membungkus orang yang telah meninggal.
Songke juga bisa menjadi pemberian saat acara masuk minta(lipa widang) dari orang tua kepada bakal keluarga baru. Dan dari fungsinya Lipa Songke kerap kali dianggap sebagai “wengko weki,” yang melindungi tubuh. Boleh dibilang, Songke itu menjadi jejak budaya Orang Manggarai.

Saat ini, di kota-kota pusat administrasi wilayah Manggarai Raya seperti  Ruteng, Borong dan Labuan Bajo, para pegawai pemerintah diwajibkan mengenakan Songke dalam bentuk jas atau kemeja sebagai salah satu usaha menghargai dan melestarikan tenun dan motif etnik setempat


Sejarah Kain Songke Manggarai
Kesultanan Goa pernah berjaya di daratan Flores pada sekitar tahun 1613–1640. Dan sekitar tahun 1666, orang-orang Makasar, Sultan Goa, tidak hanya mendiami Flores bagian Barat, tetapi juga seluruh Manggarai Raya. Pengaruh Goa nampak diantaranya pada budaya baju bodo dan pengistilahan Dewa Tertinggi “Mori Kraeng”. Dalam peristilahan harian, kata Kraeng dikenakan bagi para ningrat. Istilah tersebut mengingatkan gelar Kraeng atau Daeng dari gelar kebangsawanan di Sulawesi Selatan. Selain orang-orang Makasar, pun berdasarkan kisah sejarah, pada tahun 1722, Sultan Goa menyerahkan wilayah Manggarai kepada Sultan Bima sebagai mas kawin.


Perjumpaan dengan beragam kepentingan-kultur-kebiasaan baik dengan orang-orang Bajo, Bugis maupun Bima, melahirkan sesuatu yang baru pula untuk kesenian Manggarai. Buah perjumpaan itu yang tidak hanya perihal kepentingan-kepentingan social dan politik, tetapi juga budaya dan kebiasaan termasuk di dalamnya adalah bagaimana berbusana: pilihan motif dan corak serta tata busanya itu sendiri.

Filosofi
Warna dasar dari kain songke adalah hitam. Warna hitam merupakan kebesaran/keagungan orang Manggarai. Warna dasar hitam melambangkan kepasrahan karena kesadaran
bahwa semua manusia pada akhirnya meninggal (simbol sikap tanatos yaitu bahwa kehidupan adalah prosesi dari Allah menuju Allah). Nilai yang terpancar dari warna dasar hitam adalah nilai religius yakni simbol kepasrahan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena memiliki kesadaran bahwa semua manusia pada akhirnya meninggalkan dunia fana ini


1.     Motif Jok
Jok adalah motif dasar yang unik sebagai salah satu jati diri orang Manggarai. Jok melambangkan persatuan baik, persatuan menuju Allah (Mori Jari Dedek) penguasa alam semesta, maupun persatuan dengan sesama manusia dengan alam sekitarnya. Jok erat dengan bentuk rumah adat dan model “Lodok Langang” kebun komunal (bagian dalam lingko).
2.     Motif “Wela Kaweng”
Motif ini bermakna interdepensi antara manusia dan alam sekitarnya. Tumbuhan “Kaweng” baik daunnya maupun bunganya untuk dijadikanbahan pengobatan luka dari hewan piaraan/ternak. Motif ini mengajarkan kita bahwa alam flora menunjang kehidupan manusia baik sebagai makanan dan perumahan maupun untuk pengobatan; oleh karena itu, lestarikan alam lingkungan.
3.     Bunga songke bermotif “Ranggong” (Laba-laba)
Laba-laba tekun membuat jaringan/sarang, motif ini bersimbol “kejujuran dan kerja keras/cermat”. Diyakini dan disadari, bahwa laba-laba tidak pernah mencuri atau cari gampang seperti tikus, curi sana sini. Melalui motif Ranggong yang syarat makna ini, orang Manggarai selalu diingatkan untuk senantiasa bekerja keras/cermat dan jujur, sehngga beroleh rezeki dari ketekunan bekerja keras secara cermat dan jujur. Hanya dengan kejujuran orang hidup tenang, tidak diburu seperti tikus.
4.     Motif “Su’i” (garis-garis batas)
Melambangkan keberakhiran segala sesuatu; bahwa segala sesuatu ada akhirnya dan ada batasnya.
5.     Motif “Ntala” (Bintang)
Motif “Ntala” terkait erat dengan harapan yang sering dikumandangkan dalam ”tudak” / ”idik” (doa) yaitu “porong langkas haeng ntala” (supaya senantiasa tinggi sampai di bintang). Maksudnya supaya senantiasa sehat, umur panjang, dan memiliki ketinggian pengaruh lebih dari orang lain dalam hal membawa terang perubahan.
6.     Motif “Wela Runu” (Bunga Runu)
Melambangkan sikap ethos, bahwa orang Manggarai sebagai bunga kedil tetapi indah dan memberi hidup, dan ia hidup di tengah kefana’an.